Tidak Jelas, Proses Hukum Walikota Tasik, Bisa Jadi Preseden Buruk Bagi KPK

Kota.Tasik (kilangbara.com)-Ketidakjelasan proses hukum Walikota Tasikmalaya, Drs H Budi Budiman yang sebelumnya, sudah ditetapkan jadi tersangka oleh KPK.Kini banyak menuai sorotan tajam sejumlah masyarakat.Eksesnya, bisa menjadi preseden buruk, bagi lembaga anti rasuah tersebut.

“Tentunya wajar masyarakat pun banyak yang bertanya, bagaimana kelanjutan status tersangka Pak Walikota Tasikmalaya?,”ujar pemerhati sosial dan kebijakan publik, Nanang Nurjamil, Sabtu (20/06/2020).

Nanang menuturkan Walikota Tasikmalaya, telah lebih dari satu tahun, sejak 24 April 2019, ditetapkan tersangka oleh KPK.Karena diduga terlibat kasus suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2018.Dengan dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.Sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Status hukum seseorang (apalagi pejabat publik sebagai kepala daerah).Harus jelas dan tuntas sampai ada kepastian hukum yang inkrah/tetap.
Bagaimanapun, H Budi Budiman itu adalah Walikota.Sehingga masyarakat Kota Tasikmalaya, tentunya tidak akan rela.Jika pemimpinnya terus menerus menyandang status sebagai tersangka.Tanpa ada kepastian proses dan keputusan hukum yang jelas dan inkrah.

Warga Kota Tasikmalaya tentunya berharap, jika memang tidak cukup bukti, KPK harus segera menyatakan dan mencabut status tersangka.Serta pulihkan nama baiknya, begitupun jika memang KPK memiliki cukup bukti untuk melanjutkan proses hukumnya ke tahap selanjutnya.Jangan seperti sekarang ini sudah lebih 1 tahun lamanya status tersangka.Seolah digantung, tanpa ada kepastian tindak lanjut proses hukumnya.

“Kasihan beliau dan juga keluarganya, sebab harus menanggung beban psikologis yang berat, terutama dalam menghadapi pandangan dan penilaian masyarakat awam,”bebernya.

Selama ini, kata Nanang KPK sudah melakukan perpanjangan pencegahan Walikota Tasikmalaya ke luar negeri sebanyak dua kali, terakhir pada 21 Oktober 2019 selama 6 bulan, artinya pencegahan tersebut, seharusnya sudah berakhir pada tanggal 21 April 2020 yang lalu.Tapi sampai sekarang sudah bulan Juni 2020 (sudah lewat hampir 1,5 bulan) dari batas pencegahan ke-2 yang ditetapkan KPK.

Namun, ternyata juga masih belum ada kepastian, padahal berdasarkan Ketentuan pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian jo.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, jangka waktu pencegahan hanya berlaku paling lama 6 bulan.Serta dapat diperpanjang lagi paling lama 6 bulan. Jika tidak ada keputusan perpanjangan masa pencegahan.

Maka sesuai ketentuan Pasal 97 ayat (2) UU Keimigrasian, pencegahan harus berakhir demi hukum dan yang bersangkutan dapat melakukan perjalanan keluar wilayah Indonesia.Kalau merujuk pada ketentuan tersebut, maka pencegahannya harus sudah berkakhir demi hukum dan sudah bisa bepergian ke luar wilayah Indonesia.

“Karena itu, saya sangat apresiasi dan mendukung upaya yang akan dilakukan oleh para aktivis yang tergabung dalam Forum Musyawarah Antar Lembaga (FORMAL).Terkait dengan rencana keberangkatannya ke Jakarta untuk mendatangai KPK.Guna mempertanyakan kepastian proses hukumnya,”ucapnya.

Kata Nanang, belum ada ketentuan peraturan perundangan (termasuk dalam KUHP).Pasal yang mengatur batasan waktu maksimal seseorang ditetapkan atau menyandang status sebagai tersangka tindak pidana korupsi/gratifikasi.Tetapi itu, bukan berarti KPK, bisa dengan bebas sampai kapan saja membiarkan status seseorang sebagai tersangka tindak pidana.Jangan sampai nanti ada kesan penilaian masyarakat terhadap KPK telah melakukan kesewenang-wenangan.

Pasalnya, bertentangan dengan prinsip “due process of law”.Serta pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil.Sebsb, seseorang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana itu, tentu akan menimbulkan beban psikologis dan sanksi sosial yang cukup berat.Apalagi kalau terbukti itu, adalah sebuah konsekuensi hukum yang mesti diterima.Tapi, kalau kemudian ternyata tidak terbukti, bagaimana?secara pribadi, dirinya dengan Walikota merupakan sahabat sejak kecil.

“Bahkan, sekolah pun sekelas waktu di SMA dan sampai sekarang masih menjalin silaturahmi dengan baik (meski saya terkadang mengkritik lebijakannya agak cukup keras), tetapi saya tetap sangat prihatin dan ikut merasakan beban psikologisnya,”tuturnya.

Sebagai sahabat, lanjut Nanang berkewajiban untuk saling mengingatkan, agar kedepan harus bisa lebih berhati-hati lagi.Dalam mengambil setiap keputusan dan tindakan, apalagi sebagai kepala daerah.Tentunya harus bisa memberi suri tauladan kepada rakyat yang dipimpinnya.

Dirinya mengaku, tidak rela jika Walikota jadi bahan pertanyaan dan olokan masyarakat.Dengan mengatakan, kota santri, kenapa Walikotanya jadi tersangka gratifikasi?”, pertanyaan tersebut bukan sekali dua kali saja.Bahkan hal itu, ada yang menyampaikan dari rekannya dari luar kota Tasikmalaya.Sehingga, malu dan jengkel.Karena itu, berharap secara pribadi tentunya, Walikota Tasikmalaya bisa bebas dan tidak terbukti melakukan tindak pidana.Sehingga bisa melanjutkan sisa periode kepemimpinannya, secara normatif sampai 5 tahun untuk merealisasikan janji politiknya.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!