Mengenal Sosok Djuanda Kartawidjaja, Pahlawan Nasional Asal Tasikmalaya

Nama Djuanda Kartawidjaja tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Selain menjadi Perdana Menteri terakhir, dia juga tokoh di balik Deklarasi Djuanda. Figur, Djuanda Kartawidjaja dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1963 melalui SK Presiden Nomor 244 Tahun 1963, tertanggal 29 November 1963. Seperti tokoh nasional lainnya, nama Djuanda juga diabadikan sebagai nama jalan disejumlah daerah, termasuk diseputar Kompleks Istana Negara Jakarta.

Seperti dikutip Sindonews, namanya Djuanda diabadikan menjadi nama taman hutan rakyat dan museum di Bandung, Jawa Barat. Selain itu, menjadi nama bandara di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam waktu dekat, gambar Djuanda pun akan menghiasi bagian depan rupiah kertas pecahan Rp50 ribu. Lantas, seperti apa sosok dan pengabdiannya kepada Republik Indonesia?

Djuanda lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911. Ayahnya Raden Kartawidjaja, ibunya Nyi Monat. Djuanda menyelesaikan pendidikan dasar di HIS. Kemudian, pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa di Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Lalu oleh ayahnya, Djuanda dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung). Lulus tahun 1929, dia kemudian mendapat beasiswa masuk Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung.

Dia mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa muda, Djuanda cuma aktif dalam organisasi nonpolitik yaitu Paguyuban Pasundan atas arahan Otto Iskandar Dinata. Termasuk, juga pernah menjadi pimpinan disekolah Muhammadiyah.

Sejak 1939, dia menjadi pegawai Departemen Pekerjaan Umum di Jawa Barat. Pada zaman Jepang, ia jug bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum. Djuanda, bertugas merencanakan pembangunan jembatan Sungai Citarum yang telah dibumihanguskan oleh Belanda. Pasca kemerdekaan Indonesia, Djuanda memperoleh kepercayaan menduduki jabatan menteri disejumlah kabinet.

Tercatat, pernah menjadi Menteri Muda Perhubungan merangkap kepala Jawatan Kereta Api, Menteri Komunikasi, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Kemakmuran, Menteri Negara Urusan Perencanaan, Menteri Pertahanan, Perdana Menteri (9 April 1957-9 Juli 1959), hingga Menteri Keuangan.

Karena itu, Djuanda pun dijuluki sebagai ‘menteri maraton’. Saat menjabat Perdana Menteri, tugas Djuanda sangat berat. Sebab, keadaan bangsa dan negara dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. Dia, berhasil menyelenggarakan Musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan kembali Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta.

Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, Djuanda berkata, “Marilah kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945.

“Marilah kita mengadakan zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kita jauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan.”

Salah satu jasa lain dari Djuanda yang gemilang ialah, Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut, menentukan wilayah Perairan Republik Indonesia, yaitu bahwa bagian-bagian laut yang terletak di sekitar dan di antara pulau-pulau Indonesia yang dahulunya berstatus laut bebas, menjadi Laut Nasional.

Sosok cerdas itu, wafat di Jakarta pada 7 November 1963 karena serangan jantung. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sumber: id.wikipedia.org dan www.pahlawancenter.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!